Pada prinsipnya, pasar modal syariah bukanlah berarti keterpisahan tempat, sistem ataupun mekanisme perdagangan dengan pasar modal konvensional yang biasa dikenal masyarakat secara umum. Merujuk kepada pengertian pasar modal dalam UU Nomor 8 Tahun 1995, maka pasar modal syariah dapat didefinisikan sebagai sebuah kegiatan yang berkaitan dengan; pertama, penawaran umum dan perdagangan efek syariah; kedua, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek syariah yang diterbitkannya, ketiga, lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek-efek syariah. Jadi, pada dasarnya pasar modal syariah merupakan bentuk diferinsiasi efek di pasar modal untuk memenuhi kepentingan investor.
Menurut Huda dan Nasution (2007:45), sampai tahun 1970 sejumlah besar masyarakat muslim tidak dapat terlibat dalam investasi di pasar modal karena larangan Islam pada aktivitas-aktivitas bisnis tertentu, seperti riba, gharar dan lain-lain. Akhirnya, untuk memenuhi kepentingan para investor yang ingin mendasarkan kegitan investasinya pada prinsip-prinsip syariah, maka di sejumlah bursa efek dunia dibentuklah instrumen investasi dengan prinsip-prinsip syariah. Salah satunya dengan cara menyusun indeks yang secara khusus terdiri dari komponen saham-saham yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Berdasarkan informasi yang dimuat dalam IOSCO Report of The Islamic Capital Market Task Force of The International Organization of Securities Commissions (IOSCO, 2004:27), upaya pengembangan instrumen investasi berbasis syariah secara resmi untuk pertamakalinya diupayakan oleh Pemerintah Jordania dan Pakistan dengan mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan penerbitan obligasi syariah. Pada tahun 1978, Pemerintah Jordania menetapkan peraturan Nomor 13 Tahun 1978 yang membolehkan Bank Islam Jordania menerbitkan obligasi berdasarkan prinsip muqaradah. Tiga tahun berikutnya, yakni pada tahun 1981, peraturan tersebut diikuti oleh penerbitan Undang-Undang Obligasi Muqaradah yang juga dikeluarkan untuk mengembangkan wakaf properti. Pada tahun yang sama, yakni tahun 1981, Pemerintah Pakistan juga menerbitkan peraturan tentang Modharaba Companies dan Modarabas Ordinance. Hanya saja, meskipun peraturan-peraturan tersebut diterbitkan untuk pertama kalinya oleh kedua negara tersebut, namun tidak ada obligasi syariah yang diterbitkan pada tahun itu.
Malaysia adalah negara pertama yang dicatat IOSCO sebagai negara yang menerbitkan obligasi syariah pada tahun 1983 dan cukup sukses. Pada awalnya, obligasi tersebut diterbitkan berdasarkan konsep qardh hasan dan tidak dapat diperdangkan pada pasar sekunder, tapi kemudian konsep qardh hasan tersebut dirubah menjadi obligasi yang bersifat bai’ al-inah sehingga dimungkinkan untuk diperdagangkan pada pasar sekunder. Negara lainnya yang setelah itu juga menerbitkan obligasi Syariah adalah Kuwait dan Iran. Kesuksesan negara-negara tersebut dalam menerbitkan obligasi syariah sebagai alternatif penghimpunan dana selanjutnya memancing ketertarikan berbagai negara di dunia untuk menciptakan sebuah instrumen investasi yang juga berbasis syariah, tak terkecuali negara-negara non muslim. Dan Amerika Serikat, sebagaimana yang ditulis Iggi dan dikutip kembali oleh Huda dan Nasution (2007:45) adalah negara pertama yang menerbitkan instrumen investasi syariah dalam bentuk rekasadana dan indeks syariah.
Pada tahun 1986, The North American Islamic Trust meluncurkan The Amanah Fund sebagai equity fund pertama di Amerika, sekaligus di dunia. Tiga tahun berikutnya, Dow Jones Index meluncurkan Dow Jones Islamic Market Index (DJIM), yang difiltrasi oleh Shariah Suvervisory Board (SSB). Filtrasi dilakukan berdasarkan aktivitas bisnis dan rasio finansial perusahaan. SSB langsung mengeluarkan perusahaan yang memiliki usaha yang dilarang syariah, seperti alkohol, daging babi, pertahanan dan persenjataan, jasa keuangan konvensional, dan aktivitas lainnya yang dilarang syariah. Setelah aktivitas bisnis terseleksi, filtrasi kemudian dilanjutkan terhadap rasio keuangan. Perusahaan-perusahaan dengan utang dan tingkat pendapatan yang berasal dari bunga akan dikeluarkan dari proses seleksi. Kriteria finansial lainnya yang harus dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan dalam DJIM adalah; pertama, rasio total utang terhadap total asset harus lebih besar dari 33 %; kedua, rasio total piutang terhadap total asset harus melebihi 47 %; dan ketiga, rasio net operating interest income terhadap pendapatan operasi harus sama atau lebih besar dari 9 %.
Proses penyaringan saham-saham syariah dengan melandaskannya kepada aktivitas bisnis dan rasio keuangan ini kemudian diikuti juga oleh berbagai negara lain yang pada tahun-tahun selanjutnya menerbitkan indeks saham syariah, termasuk Indonesia dan Malaysia.
Sampai tahun 2004, seperti yang ditulis Hakim dan Rashidian, investasi di pasar keuangan Islam diperkirakan telah mencapai 230 Miliar dollar, dengan besar pertumbuhan setiap tahunnya 15% (Hakim dan Rashidian, 2004:2). Pendanaan saham Islam mengalami pertumbuhan yang kuat selama tahun 1990. Pada tahun 1996, ada 29 pendanaan Islam dengan nilai 800 juta dollar Amerika. Selama periode tersebut, kinerja pendanaan Islam mengalami kerancuan karena investor tidak punya percontohan (benchmark) yang sesuai untuk menilai kinerja. Menjelang bulan Maret 2002, jumlah pendanaan Islam meningkat sampai 105 dengan total aset mencapai 3,3 juta dollar Amerika, turun dari 5 juta dollar Amerika pada tahun 2000 (Siddiqi, 2002).
Sebelumnya, pada akhir tahun 1998, sebagai dampak dari peningkatan permintaan terhadap investasi saham Islam, investor internasional dari Kuwait bekerjasama dengan kelompok FTSE, sebuah perusahaan indeks global independen di London, meluncurkan seri indeks saham Islam yang pertama, yaitu FTSE Seri Indeks Islam Global (Global Islamic Index Series atau GIIS). Peluncuran GISS kemudian diikuti dengan peluncuran Dow Jones Islamic Market Index (DJIMI) untuk mencatat kinerja perusahaan dari 34 negara yang kegiatannya konsisten dengan prinsip-prinsip Islam. Malaysia adalah salah satu Negara yang bekerjasama dengan FTSE pada tahun 2007 lalu, dan kemudian juga meluncurkan FTSE Bursa Malaysia EMAS Shariah Index (FBMS), yang juga masuk ke dalam GIIS.
Menurut Huda dan Nasution (2007:45), sampai tahun 1970 sejumlah besar masyarakat muslim tidak dapat terlibat dalam investasi di pasar modal karena larangan Islam pada aktivitas-aktivitas bisnis tertentu, seperti riba, gharar dan lain-lain. Akhirnya, untuk memenuhi kepentingan para investor yang ingin mendasarkan kegitan investasinya pada prinsip-prinsip syariah, maka di sejumlah bursa efek dunia dibentuklah instrumen investasi dengan prinsip-prinsip syariah. Salah satunya dengan cara menyusun indeks yang secara khusus terdiri dari komponen saham-saham yang kegiatan usahanya tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Berdasarkan informasi yang dimuat dalam IOSCO Report of The Islamic Capital Market Task Force of The International Organization of Securities Commissions (IOSCO, 2004:27), upaya pengembangan instrumen investasi berbasis syariah secara resmi untuk pertamakalinya diupayakan oleh Pemerintah Jordania dan Pakistan dengan mengeluarkan peraturan yang berkaitan dengan penerbitan obligasi syariah. Pada tahun 1978, Pemerintah Jordania menetapkan peraturan Nomor 13 Tahun 1978 yang membolehkan Bank Islam Jordania menerbitkan obligasi berdasarkan prinsip muqaradah. Tiga tahun berikutnya, yakni pada tahun 1981, peraturan tersebut diikuti oleh penerbitan Undang-Undang Obligasi Muqaradah yang juga dikeluarkan untuk mengembangkan wakaf properti. Pada tahun yang sama, yakni tahun 1981, Pemerintah Pakistan juga menerbitkan peraturan tentang Modharaba Companies dan Modarabas Ordinance. Hanya saja, meskipun peraturan-peraturan tersebut diterbitkan untuk pertama kalinya oleh kedua negara tersebut, namun tidak ada obligasi syariah yang diterbitkan pada tahun itu.
Malaysia adalah negara pertama yang dicatat IOSCO sebagai negara yang menerbitkan obligasi syariah pada tahun 1983 dan cukup sukses. Pada awalnya, obligasi tersebut diterbitkan berdasarkan konsep qardh hasan dan tidak dapat diperdangkan pada pasar sekunder, tapi kemudian konsep qardh hasan tersebut dirubah menjadi obligasi yang bersifat bai’ al-inah sehingga dimungkinkan untuk diperdagangkan pada pasar sekunder. Negara lainnya yang setelah itu juga menerbitkan obligasi Syariah adalah Kuwait dan Iran. Kesuksesan negara-negara tersebut dalam menerbitkan obligasi syariah sebagai alternatif penghimpunan dana selanjutnya memancing ketertarikan berbagai negara di dunia untuk menciptakan sebuah instrumen investasi yang juga berbasis syariah, tak terkecuali negara-negara non muslim. Dan Amerika Serikat, sebagaimana yang ditulis Iggi dan dikutip kembali oleh Huda dan Nasution (2007:45) adalah negara pertama yang menerbitkan instrumen investasi syariah dalam bentuk rekasadana dan indeks syariah.
Pada tahun 1986, The North American Islamic Trust meluncurkan The Amanah Fund sebagai equity fund pertama di Amerika, sekaligus di dunia. Tiga tahun berikutnya, Dow Jones Index meluncurkan Dow Jones Islamic Market Index (DJIM), yang difiltrasi oleh Shariah Suvervisory Board (SSB). Filtrasi dilakukan berdasarkan aktivitas bisnis dan rasio finansial perusahaan. SSB langsung mengeluarkan perusahaan yang memiliki usaha yang dilarang syariah, seperti alkohol, daging babi, pertahanan dan persenjataan, jasa keuangan konvensional, dan aktivitas lainnya yang dilarang syariah. Setelah aktivitas bisnis terseleksi, filtrasi kemudian dilanjutkan terhadap rasio keuangan. Perusahaan-perusahaan dengan utang dan tingkat pendapatan yang berasal dari bunga akan dikeluarkan dari proses seleksi. Kriteria finansial lainnya yang harus dipenuhi oleh perusahaan-perusahaan dalam DJIM adalah; pertama, rasio total utang terhadap total asset harus lebih besar dari 33 %; kedua, rasio total piutang terhadap total asset harus melebihi 47 %; dan ketiga, rasio net operating interest income terhadap pendapatan operasi harus sama atau lebih besar dari 9 %.
Proses penyaringan saham-saham syariah dengan melandaskannya kepada aktivitas bisnis dan rasio keuangan ini kemudian diikuti juga oleh berbagai negara lain yang pada tahun-tahun selanjutnya menerbitkan indeks saham syariah, termasuk Indonesia dan Malaysia.
Sampai tahun 2004, seperti yang ditulis Hakim dan Rashidian, investasi di pasar keuangan Islam diperkirakan telah mencapai 230 Miliar dollar, dengan besar pertumbuhan setiap tahunnya 15% (Hakim dan Rashidian, 2004:2). Pendanaan saham Islam mengalami pertumbuhan yang kuat selama tahun 1990. Pada tahun 1996, ada 29 pendanaan Islam dengan nilai 800 juta dollar Amerika. Selama periode tersebut, kinerja pendanaan Islam mengalami kerancuan karena investor tidak punya percontohan (benchmark) yang sesuai untuk menilai kinerja. Menjelang bulan Maret 2002, jumlah pendanaan Islam meningkat sampai 105 dengan total aset mencapai 3,3 juta dollar Amerika, turun dari 5 juta dollar Amerika pada tahun 2000 (Siddiqi, 2002).
Sebelumnya, pada akhir tahun 1998, sebagai dampak dari peningkatan permintaan terhadap investasi saham Islam, investor internasional dari Kuwait bekerjasama dengan kelompok FTSE, sebuah perusahaan indeks global independen di London, meluncurkan seri indeks saham Islam yang pertama, yaitu FTSE Seri Indeks Islam Global (Global Islamic Index Series atau GIIS). Peluncuran GISS kemudian diikuti dengan peluncuran Dow Jones Islamic Market Index (DJIMI) untuk mencatat kinerja perusahaan dari 34 negara yang kegiatannya konsisten dengan prinsip-prinsip Islam. Malaysia adalah salah satu Negara yang bekerjasama dengan FTSE pada tahun 2007 lalu, dan kemudian juga meluncurkan FTSE Bursa Malaysia EMAS Shariah Index (FBMS), yang juga masuk ke dalam GIIS.
0 komentar:
Posting Komentar